Friday, October 24, 2014

Mbak Dee dan Karyanya yang Menginspirasi



Baru saja selesai baca ‘Gelombang’, episode kelima dari serial ‘Supernova’. Seperti biasa, serial ini mampu membuat saya hanyut dalam setiap halamannya. Bangga bisa dapat buku ke-746 dari 2014 eksemplar edisi khusus bertanda-tangan.

Dee yang merupakan nama pena dari Dewi Lestari ada di bagian atas di daftar penulis favorit saya. Karyanya yang saya baca pertama kali adalah ‘Perahu Kertas’ kemudian ‘Rectoverso’. Tapi yang benar-benar membuat saya terpesona adalah serial ‘Supernova’.

Saya mulai membaca Supernova kira-kira satu tahun yang lalu ketika saya berumur enam belas tahun. Kenapa saya baru baca tahun lalu padahal serial ini sudah lama terbit? Well, menyesuaikan konten yang ada dengan umur saya. Kalau bacanya dulu-dulu saya pasti nggak akan ngerti isi bukunya yang notabene emang cukup berat.

Karya-karya Mbak Dee selalu mengambil jalan cerita yang tidak biasa. Karya pertamanya, ‘Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh’ diterbitkan tahun 2001 dan di situ disungging pasangan gay Reuben dan Dimas. Mbak Dee sangat berani menyinggung gay di tahun 2001. Di Indonesia, orang-orang gay sangatlah tidak bebas karena bertentangan dengan nilai dan norma bangsa dan agama. Di tahun 2014—yang orang-orangnya sudah mulai berpikiran terbuka dan mulai banyak yang menghormati hak-hak LGBT—saja mereka masih sering dicerca masyarakat, bagaimana dulu? Ini sesuatu yang tidak biasa dan luar biasa menurut saya.

Kisah-kisah di serial ‘Supernova’ ini punya jalan cerita yang sulit ditebak. Dalam setiap seri, tokoh yang dibahas selalu berbeda, dengan latar belakang yang berbeda, dan menghadapi masalah yang berbeda-beda juga. Cinta pertama saya adalah episode ‘Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh’ dan sampai sekarang episode itu tetap menjadi favorit saya. Kebanyakan novel remaja Indonesia (teenlit) punya jalan cerita yang gampang ditebak dan itu membosankan (bagi saya), itulah mengapa sebelum ini saya lebih menikmati karya-karya sastra luar negeri. Begitu saya membaca ‘Supernova’ saya langsung jatuh cinta dan saya tahu kalau mengeluarkan uang untuk melengkapi serial ini bukan hal yang sia-sia tak berguna.

Dalam setiap pengerjaan karyanya, Mbak Dee selalu melakukan riset yang matang. Hal itu terbukti dengan narasi dan dialog yang ada dan terasa begitu nyata. Deskripsinya tentang tempat-tempat di luar sana yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, tentang kehidupan para tokoh yang berasal dari daerah yang berbeda-beda. Segalanya tergambar jelas. Semua permasalahan yang ada juga dijabarkan dengan terperinci seperti cara tokoh itu menyelesaikan masalahnya atau perjalanan spiritual sang tokoh. Banyak istilah yang asing di telinga saya saat saya membaca serial ini. Menurut saya, itu salah satu daya tariknya. Saya selalu dapat belajar hal baru ketika membaca, bahkan bisa memperjelas apa yang selama ini abu-abu bagi saya. 

Membaca serial ini rasanya seperti sedang menyatukan potongan-potongan puzzle yang lama-kelamaan tersusun menjadi satu gambar yang jelas.

Serial ‘Supernova’ sudah banyak menginspirasi banyak orang untuk menulis, termasuk saya. Saya suka pilihan kata yang digunakan Ibu Suri, puitis tapi tidak berlebihan, indah tapi sederhana. Salah satu author fanfiction favorit saya di salah satu fandom juga menulis fic yang terinspirasi dari ‘Supernova’ episode ‘Kesatria, Putri, dan Bintang Jatuh’ dan saya juga jatuh cinta dengan karyanya.

Gara-gara saya sering baca serial ini di sekolah, ‘Virus Supernova’ sudah mulai menyebar di kelas. Tapi bacanya ganti-gantian. Buku saya jadi beredar ke mana-mana, deh. Terima kasih Ibu Suri, karya-karyamu telah menjadi teman setia saya di samping bantal selama setahun belakangan ini. Tak sabar menunggu ‘Inteligensi Embun Pagi’ lahir!

A simple perfection. I found a little piece of heaven.